Isi:
Oleh: Ibnu Hamad, Plt Kepala Pusat
Informasi dan Hubungan Masyarakat Kemdikbud
Seperti terminologi lainnya, tidak ada
defenisi tunggal untuk pendidikan karakter. Secara etimologis, karakter berarti
watak atau tabiat. Ada juga yang menyamakannya dengan kebiasaan. Selain itu ada
yang mengaitkannya dengan keyakinan. Bahkan disamakan dengan akhlak.
Dari pengertian ini, yang jelas karakter
sering dikaitkan dengan kejiwaan. Karenanya, menurut ahli psikologi, karakter
adalah system keyakinan dan kebiasaan yang ada dalam diri seseorang yang
mengarahkannya dalam bertingkah laku.
Lalu dimanakah letak karakter dalam diri
seseorang? Inipun sulit dijawab. Namun ada “hukum” yang menarik terkait
karakter. Kira-kira begini bunyinya: pikiran menghasilkan ucapan; ucapan
mempengaruhi tindakan; tindakan menghasilkan kebiasaan; kebiasaan membentuk
karakter; karakter menentukan nasib.
Ternyata, hal yang paling mendasar dalam
pembentukan karakter itu tiada lain adalah pikiran. Maklumlah, dalam pikiran
itulah semua tindakan manusia itu deprogram. Bermula dari pikiran itulah, baik
buruknya tindakan manusia berasal. Bilamana pikirannya positif, maka
tindakannya positif dan sebaliknya.
Oleh sebab itu, pikiran harus mendapatkan
asupan yang baik agar menghasilkan asupan yang baik agar menghasilkan tindakan
yang baik. Dalam konteks inilah pendidikan karakter sangat penting guna
memberikan asupan yang baik itu. Kenyataannya, secara intrinsic yang namanya
pendidikan bertujuan memberikan pikiran-pikiran positif. Jadi kloplah pasangan
kata pendidikan dan karakter ini.
Empat Dimensi Pendidikan Karakter
Mencermati konsep dasar pendidikan, karakter
yang dikembangkan Kemdiknas, tampaklah di sana empat dimensinya. Seperti tampak
dalam gambar di bawah ini, pendidikan karakter meliputi: olah pikir, olah hati,
olah raga, dan oleh karsa. Dalam gambar itu tampak pula variable-variabel yang
menjadi nilai masing-masing dimensi.
Yang patut dicatat dalam empat dimensi ini
adalah keterkaitan di antara mereka satu sama lain dilambangkan dengan empat
lingkaran yang saling mengikat. Maknanya, karakter seorang individu dinyatakan
lengkap jika keempat dimensi itu tumbuh dan berkembang dalam diri yang
bersangkutan.
Tidak sempurna pribadi seseorang jika hanya
pintar saja (olah otak). Apa artinya jika kepandaian jika tidak memiliki
sifat-sifat ketuhanan, kemanusiaan, dan kesosialan serta kewargaan. Karena itu
perlu olah hati.
Tentu saja, selain otak dan hatinya perlu berkembang,
manusia juga perlu berkembang raga dan karsanya. Hal demikian agar ia dapat
hadir di lingkungan sosialnya. Otak yang pintar dan hati yang lembut, belum
sepenuhnya berguna jika belum memberikan kemanfaatan bagi sekitarnya.
Sedangkan olah raga, diperlukan agar seseorang
memiliki keterjagaan fisik. Dengan sehat secara fisik, maka ketiga potensi
sebelumnya, otak, hati, dan rasa, dapat dimanfaatkan secara optimal. Bayangkan,
jika seseorang yang pintar otaknya, lembut hatinya, banyak karsanya, namun
sakit-sakitan maka ia tidak akan memberikan dampak yang maksimal bagi
lingkungannya.
Nilai Inti Pendidikan Karakter
Mendiknas, M. Nuh mengibaratkan nilai-nilai
pada pendidikan karakter itu, termasuk yang berada dalam empat dimensi itu --
sebagai sebuah pohon. Ibarat pohon, pendidikan karakter itu memiliki akar yang
karenanya pohon itu dapat tumbuh dan berkembang. Demikian pula seseorang bisa
hidup dengan baik jika memiliki nilai-nilai inti karakter sebagai akar
kehidupannya. Nilai inti tersebut terdiri dari empat aspek.
Pertama, jujur. Semua orang tak terkecuali
orang jahat apalagi orang baik, menyukai kejujuran. Kejujuran menghasilkan
kebaikan. Dengan jujur, semua masalah menjadi mudah terpecahkan.
Kedua, cerdas. Sudah terang jujur merupakan
sesuatu yang mendasar dalam hidup seseorang. Namun jujur saja tetapi –maaf-
bodoh kurang berarti karena itu akan lebih banyak menjadi beban bagi orang
lain. Oleh sebab itu ia harus cerdas supaya bisa mengambil peran aktif dalam
menjawab setiap persoalan paling tidak yang menimpa dirinya sendiri.
Ketiga, bisa berteman. Apa artinya jujur dan
cerdas namun tidak bisa bergaul dengan orang lain? Orang egois, mau menang
sendiri saja, dan suka menyakiti orang lain tak banyak manfaatnya walaupun
jujur dan cerdas. Karenanya karakter yang harus dimiliki adalah harus bisa
berteman.
Keempat, bertanggung jawab. Inilah karakter
yang menjadi taruhan seseorang dalam kehidupan sosialnya. Sebagai sikap
ksatria, karakter bertanggung jawab mencerminkan kepribadian yang dapat
diandalkan sekaligus membanggakan. Bukankah setiap perbuatan selalu dimintai
pertanggungjawabannya?
Tujuan PK
Dalam berbagai kesempatan Mendiknas, M. Nuh
menegaskan bahwa pendidikan karakter bagi peserta didik Indonesia bertujuan
hendak menjadikan manusia Indonesia sebagai individu yang memiliki tiga elemen
sekaligus di bawah ini.
Pertama, sebagai makhluk Tuhan yang mengakui
bahwa semua makhluk di hadapan Tuhan itu sama. Bahwasanya sesame makhluk Tuhan
tidak ada yang lebih unggul dan lebih hebat dari yang lainnya. Jika setiap
orang memiliki pikiran seperti ini, niscaya akan timbul rasa saling mengasihi
antar sesama. Hidup pun menjadi rukun dan saling menghormati, toleran dengan
perbedaan, dan suka tolong menolong.
Kedua, sebagai manusia intelektual yang
memiliki kepenasaranan untuk tahu (curiousity) terhadap berbagai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, seseorang akan
pintar dan cerdas karena selalu berusaha menambah ilmu dan keterampilannya.
Pada gilirannya, iptek yang dikuasainya tersebut dapat dimanfaatkan bukan saja
untuk kepentingan dirinya sendiri melainkan juga kemaslahatan orang lain bahkan
warga dunia.
Ketiga, sebgai warga Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang cinta dan bangga pada tanah air. Cinta dicirikan oleh rasa
memiliki yang kuat pada NKRI yang berasaskan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka
Tunggal Ika. Bangga diindikasikan oleh raihan prestasi yang disumbangkan pada
NKRI demi kejayaan bangsa dan negara. Dengan tiga tujuan utama ini, pendidikan
karakter bersifat komprehensif yang hendak menjadikan setiap anak bangsa
memiliki watak yang menjunjung tinggi nilai ketaqwaan, kesosialan, dan
kebangsaan. Lebih dari itu, watak ketaqwaan, kesosialan, dan kebangsaan tidak
dilakukan secara membabi buta melainkan dilaksanakan dengan penuh kesadaran
karena ketiga watak ini disertai dengan watak keilmuan (curiousity)
Kearifan Lokal untuk Pendidikan Karakter
Disadari atau tidak, sungguh amat banyak
nilai-nilai tradisional yang hidup dalam masyarakat yang dapat dijadikan
sebagai muatan pendidikan karakter. Nilai-nilai tradisi ini telah menjadi
kearifan local yang walaupun berbeda-beda di antara suku-suku bangsa namun
memiliki kesamaan yang sangat signifikan. Manakala nilai-nilai tradisional ini
hendak disinkronkan dengan pendidikan karakter niscaya sangat sejalan dengan
nilai inti dan tujuan pendidikan karakter.
Tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa kita,
kepercayaan pada sesuatu yang supranatural menjadi bagian hidup dari kebanyakan
suku bangsa. Sebelum Hindu sebagai agama yang pertama kali datang ke Indonesia,
suku-suku bangsa di Tanah Air umumnya menganut animisme dan dinamisme. Mereka
percaya bahwa di balik alam yang nyata itu ada kekuatan yang mengendalikan
hidup mereka dan mereka memujanya. Lewat pemujaan itu mereka berharap kehidupan
mereka, sanak familinya dan lingkungannya berjalan dengan baik. Atas dasar
kepercayaan yang dianutnya mereka menata harmoni sosial mereka.
Ketika agama-agama masuk mulai dari Hindu,
Budha, Konghucu, Kristen, dan Islam, kepercayaan bangsa Indonesia kepada tuhan
semakin berkembang. Sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya masing-masing,
setiap pemeluk agama percaya bahwa hanya Tuhan yang Maha Besar dan Maha Kuasa;
sedangkan manusia harus tunduk dan patuh pada titahNya termasuk menghargai
sesama dan melestarikan alam sekitar.
Selanjutnya kepercayaan kepada Tuhan itu bukan
saja menjadi landasan spiritual serta tuntutan dan tuntunan ritual para
pemeluknya, melainkan pula menjadi sumber nilai dan norma sosial seperti
kejujuran, tolong menolong, bertanggung jawab dan lain sebagainya. Seperti
dimaklumi, salah satu pilar keimanan adalah percaya bahwa Tuhan maha melihat.
Pilar inilah yang membuat pemeluk agama merasa harus selalu jujur. Pilar
lainnya, setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di
hadapan Tuhan. Aspek inilah yang mendorong para pemeluk agama selalu
mempertimbangkan setiap tindakannya: apakah sejalan dengan ajaran agama ataukah
menyimpang. Sedangkan untuk sikap tolong menolong, setiap agama
memerintahkannya minimal di anatara pemeluk agamanya masing-masing.
Disamping nilai dan norma yang bersumber dari
agama, di tengah masyarakat kita dalam suku-suku bangsa Indonesia juga ada dan
masih hidup nilai-nilai dan norma sosial yang bersumber dari adat. Biasanya
kearifan local yang bersumber dari adat ini berbentuk pepatah petitih yang
mengajarkan kebaikan seperti ajakan untuk menambah pengetahuan, dorongan untuk
kerja keras, nasihat dalam mengumpulkan kekayaan, unggah ungguh berbahasa, cara
menghormati orang lain, hingga ajaran melestarikan alam sekitar.
Secara turun temurun kearifan local yang
bersumber dari adat istiadat itu, dan bersanding dengan kearifan local yang
bersumber dari ajaran agama, masih terus diwariskan dan sesungguhnya masih
hidup di tengah masyarakat kita. Karena itu, ketika pendidikan karakter
didengungkan ulangm maka sejatinya kearifan local itu dapat digunakan untuk
memperkuat pendidikan karakter. Sebaliknya pendidikan karakter ini merevitalisasi
kearifan local untuk dimanfaatkan dalam rangka kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Oleh karena tokoh-tokoh pemangku kearifan
local ini pada dasarnya masih banyak, dan pada umumnya terdidik, maka sangat
terbukalah peluang mereka untuk menyandingkan pendidikan karakter dan kearifan
local. Bilamana kita mampu menyandingkan dalam arti menunjukkan bahwa
pendidikan karakter sejalan dengan nilai tradisi kita sendiri, maka efektivitas
pendidikan karakter akan cepat terasa. Semoga.
Sumber : http://kemdiknas.go.id/kemdiknas/artikel_pendidikan_karakter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar